Namanya Abu Bakar, anak sulung dari adiknya mamah yang saya sebut bibi.
Waktu saya kelas 6 SD, beliau baru dilahirkan oleh bibi saya dan pengasuh pertamanya adalah saya
Oh ya, saya juga suka pinjam sepatu bibi saya ke sekolah dengan menyumpal bagian depannya dengan koran karena tentu saja kegedean hahaha, dan ini memberi kesan mendalam saat menggunakan sepatu bibi ke sekolah karena sepatunya adalah sepatu kerja yang lucu (bibi saya seorang wanita karir di pemerintahan) dan untungnya bibi selalu mengizinkan jika saya melakukannya
Saya mengasuh Abu untuk mendapatkan uang saku pergi sekolah dari bibi, dan saya pun memang tinggal dengan bibi.
Mencari tambahan uang saku senang sekali saya lakukan karena memang kondisi ekonomi keluarga saya saat itu tidak baik-baik saja, bahkan kebiasaan mandiri ini saya bawa terus hingga akhirnya SMA kelas 1 saya mulai mendapatkan uang dari berbagai artikel yang diterbitkan di media cetak.
Selain Abu, saya juga mengasuh adiknya Zahra dan lahirlah lebih banyak adik Abu dan saya terus beranjak dewasa hingga akhirnya kami berpisah apalagi setelah saya menikah, namun hubungan baik terus saya jaga.
Di akhir usia bibi, bibi yang sakit masih sempat saya jenguk sambil saya lap tubuhnya, pijat, dan mengobrol
Bibi bilang, “Nitip adik-adikmu kalau bibi udah nggak ada”
Saya mengangguk dan bibi sudah nggak ada sejak beberapa tahun lalu, tapi sampai sekarang saya masih bersama anak-anaknya, mereka anak-anak yang saya asuh dan besar bersama-sama
Saya dan Abu adalah bukti kedekatan kami, apa-apa kami diskusikan bersama, kini dia pun sudah menjadi seorang suami dan Ayah, dan beliau menjadi penjaga adik-adik dan ponakannya.
Abu adalah penghafal Al-Quran, suaranya sangat merdu, dan karakternya kalem.
Demikian sepenggal cerita dari seorang yang sempat menjadi pengasuh anak dan sekarang jadi penulis